Kamis, 28 November 2013

Asal-Usul Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah (Bagian II)


B. AJARAN DAN RITUAL (AMALIYAH) TAREKAT

Tarekat adalah salah satu unsur dari ajaran-ajaran Islam, yang menekankan pada segi batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan secara umum menjadi aspek keimanan, keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak. Adapun ajaran Islam yang menekankan pada aspek ibadah atau hubungan manusia dengan tuhannya, biasa juga diklasifikasikan dalam tingkatan: syari’at, tarekat, dan hakekat.(24) 
Dalam hal ini, tarekat sama maksudnya dengan syari’at, yakni suatu jalan atau cara untuk mencapai hakekat tuhan. Namun antara keduanya berbeda di dalam orientasi untuk menuju Tuhan, dalam hal ini tarekat mengarahkan pada dimensi lahir.
>>>Sebagaimana fungsi ajaran tarekat pada umumnya, zikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik dasar dalam ritual para penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk mencapai tujuan “mengingat Allah” (zikrullah).
Menurut Martin, praktek zikir semacam itu pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung dan permanen, tetapi sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau peniadaan diri.(25)
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,(26) bahwa ada tiga ritual dasar dalam tarekat sufi ini. Yang pertama adalah membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur ar-Rahim, dua puluh sampai dua puluh lima kali, kemudian diikuti pembacaan salawat, yaitu Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa sahbih wa sallim, dengan jumlah yang sama dengan istigfar. Yang ketiga adalah melakukan zikir dengan membaca la ilah ilaha Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak 165 kali, setelah menunaikan shalat wajib lima waktu setiap hari.(27)

Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran untuk metode pembacaan “la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir harus diawali dengan melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan bahwa kata itu diambil dari bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat “ilaha” ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat illallah disertai dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah. Zikir ini harus dilaksanakan dengan konsentrasi pikiran penuh. Sementara rumusan la maqsud illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari menjaga pikiran maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli membayangkan rupa syekh yang membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau penyatuan ekstatik), yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada saat yang sama memohon rahmat dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di hadapannya selama beberapa detik, jika syekh tidak hadir, dia harus membayangkan rupa syekh dalam mata batinnya dan mencari bimbingan spiritualnya. Kemudian disebutkan bahwa zikir ini dikenal dengan zikr nafi isbat (zikir penyangkalan penegasan), dan dipraktekkan secara jahr (suara keras) dan sirr(dalam hati).(28) dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati, seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul Allah salla Allah alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah berkati dan beri keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha min jami’ al-ahwal wa al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau engkau menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.(29)
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan dengan gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah atas ritual ini juga substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana manusia dilengakapi demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang digunakan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tidak dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut dipinjam dari tarekat Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin (Kitab Fathul Arifin) menggambarkan sepuluh lata’if (latifah).   Lima di antaranya adalah qalb(hati), ruh(ruh), sirr (batin), khafi (rahasia) dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam al-amr (Alam perintah). Lima lata’if yang lain adalah nafs (kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan api. Ini disebut alam al-khalq (Alam ciptaan).(30)
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada di bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah. Kelembutan ruh(latifah al-ruh) terdapat di bawah dada kanan, dua jari ke kanan, warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu kita Ibrahim dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr) terletak berlawanan dengan dada kiri, dua jari kearah dada, warnanya adalah putih, ia adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya udara. Kelembutan paling rahasia (latifah alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi Muhammad, dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs an-natiqah terletak di dahi dan seluruh kepala.(31) 
Syeikh Ahmad Khatib Sambas qs. mengajarkan zikir jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau khafi (zikir diam). Praktek zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah, oleh karena tarekat Qadiriyah hanya mengajarkan zikir keras. Pengaruh kuat lainnya dari tarekat Naqsyabandiyah adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh sebelum atau selama zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang dijelaskan dalamFat al-Arifin, adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh yang sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat pada daftar silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat Qadiriyah yang didaftar.Silsilah tarekat Naqsyabandiyah tidak disebutkan. Pengaruh lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama dalam manaqiban.(32) biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani selalu dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din an-Naqsyabandi tidak pernah dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan dengan praktek-praktek tertentu dari tarekat Naqsyabandiyah.

Keterangan dan Sumber :
25 Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, hlm. 85.
26 Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia, hlm. 79.
-  Al-Attas berpendapat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah pengarang Fath al-‘Arifin setebal dua belas halaman, yang merupakan risalah terpenting dan terpopuler mengenai praktik-praktik sufi dikalangan orang-orang Melayu. Lihat Zulkifli. Sufi Jawa, hlm. 43. Namun demikian, Van Bruinessen menyangkal bahwa buku ini ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib dan berpendapat bahwa penulisan buku ini dilakukan oleh muridnya. Bruinessen mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib sendiri tidak menulis satu pun buku, namun dua muridnya dengan setia mencatat ajaran-ajaran dalam sebuah risalah pendek berbahasa Melayu, yang secara eksplisit menjelaskan teknik-teknik dari tarekat sufi ini. Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90.
28 Nawash Abdullah, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 187.
29 Ibid. Pada Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam, hlm. 102. Martin Van Bruinessen, “Tarekar Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jailani di India. Kurdistan dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an No. 2. 1989. Vol. II: hlm. 73.
30 Martin, Ibid, hlm. 73.
31 Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 48.
105 Ibid, hlm. 49.
32 Manaqiban adalah acara ritual khas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu peringatan mengenang wafatnya Syeikh Abd al-Qadir Jailani. Upacara tersebut diselenggarakan bulanan bertempat di rumah salah seorang ikhwan yang waktunya telah ditetapkan. Dalam upacara ini, ada zikir berjama’ah diikuti dengan bacaan Manaqib Abd al-Qadir, yaitu cerita klasik mengenai kehidupan dan keajaiban perilaku sang waliyullah. Bandingkan dengan pengertian istilah itu dalam Ensiklopedia Islam Jilid III, 1994, hlm. 152./


Sumber tulisan:

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Posting Komentar