C. PENGARUH TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
DI BANTEN DAN SEKITARNYA
Dilihat dari perkembangan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah mulai dari berdirinya, terlihat bahwa tarekat ini mempunyai
pengaruh yang cukup besar di Banten. Banten pada abad ke-19, keanggotaan dalam
tarekat justru memberikan prestise bagi seseorang. Para kyai dan haji, sebagai
guru tarekat, sangat disegani dan dihormati oleh penduduk desa. Begitu besar
pengaruh organisasi tarekat di dunia Islam, sehingga H.R. Gibb yang dikutip
oleh H. Puad mengatakan, bahwa sesudah direbutnya khalifah Mongol tahun 1258
maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum
sufi.
Begitu pula halnya di Banten, salah seorang pemuka tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, K.H. Abdul Karim, memiliki pengaruh yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten. Sebelum tarekat ini didirikan, para kyai di Banten bekerja tanpa ikatan apa-pun satu sama lainnya. Tiap kyai menyelenggarakan pesantrennya sendiri, dengan caranya sendiri, dan bersaing dengan kyai-kyai lain untuk mendapatkan nama sebagai ulama yang pandai, dukun yang ampuh.(33)Dengan kedatangan tarekat ini di Banten pada awal tahun tujuh-puluhan, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, memperoleh momentum. Di bawah pengaruhnya, tarekat itu semakin berakar dikalangan para kyai dan mempersatukan mereka. Pada waktu yang bersamaan, pengaruh para kyai atas pengikut-pengikut mereka bertambah besar.(34)
Haji Abdul Karim merupakan ulama besar dan orang
suci di mata rakyat. Ia adalah seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai
guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada khususnya. Sejak masa mudanya ia
mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, dan kemudian menjadi seorang ulama besar
yang sangat terkenal. Karena sifat-sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok
untuk berdakwah bagi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tugas pertama yang
diberikan kepadanya adalah sebagai guru tarekat di Singapura,(35) dan tugas itu
ia lakukan selama beberapa tahun. Pada tahun 1872 ia kembali ke desa asalnya,
Lampuyang-Banten, dan tinggal disana selama kurang lebih tiga tahun.(36)
)Haji Abdul Karim dipercaya bahwa, dia adalah
seorang wali Allah yang telah dilimpahkan barakat,
dan karenanya mempunyai kekuatan untuk mengirimkam keramat atau
limpahan-limpahan mukjizat. Di masa belakangan, dia menjadi terkenal dengan
sebutan kyai Agung.
Karena pengaruhnya yang sangat kuat itu, daerah
Banten dalam waktu singkat diwarnai oleh kehidupan keagamaan yang luar biasa
aktifnya. Di samping itu, kedudukan dan popularitasnya sebagai wali dan kyai
agung menumbuhkan kesetiaan rakyat Banten. Kebetulan pada masa itu telah
berkembang kuat rasa ketidak-puasaan rakyat kepada Belanda sebagai akibat tindakan
politik dan ekonomi Belanda yang tidak menguntungkan rakyat Banten. Dalam
situasi ketegangan semacam ini, para ulama di Banten secara bertahap membangun
semangat rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.(37)
Sebagai pemimpin tarekat yang semakin berkembang.
K.H. Abdul Karim juga mendirikan sebuah pesantren di Banten, yang sekaligus
dijadikan sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, serta
membuka pengajian di Tanara, Tirtayasa, Serang. Selain itu, H. Abdul Karim juga
berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-pesantren dan berhasil
mengobarkan semangat anti penjajahan. Dalam waktu yang relatif singkat ia sudah
mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh padanya. Sulit
untuk memperkirakan jumlah pengikutnya: bagaimanapun, ia dengan cepat tampil
sebagai tokoh yang dominan di kalangan elit agama.
Tidak saja prestise dan pengaruhnya yang
bertambah besar. Selain itu, ia juga mengunjungi daerah-daerah di Banten sambil
tak henti-hentinya mempropagandakan tarekatnya. Di samping masa rakyat yang
antusias yang dengan mudah ia pengaruhi, ia juga berhasil meyakinkan banyak
pejabat pamong-praja untuk mendukung misinya. Sejumlah tokoh terkemuka, seperti
Bupati Serang, penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan Patih, Haji R.A.
Prawiranegara, adalah sahabat-sahabatnya dan mereka sangat terkesan oleh
ide-idenya. Ia benar-benar merupakan orang yang paling dihormati oleh rakyat
dan seluruh masyarakat di daerah Banten, sehingga pemerintah merasa takut
kepadanya.(38)
Kepopulerannya yang terus meningkat,
murid-muridnya dengan tidak sabar menantikan seruannya untuk memberontak,
rakyat seolah-olah dilanda rasa rindu dan ingin bertemu. Seperti digambarkan
oleh Snouck Hurgronje:
“. . . setiap malam beratus-ratus orang yang
ingin diselamatkan, berduyun-duyun ketempat tinggalnya, untuk belajar zikir
darinya, untuk mencium tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah
hampir tiba, dan untuk berapa lama lagi pemerintah kafir masih akan
berkuasa?”(39)
Belanda menganggap Syeikh Abdul Karim sangat
berpengaruh dalam pemberontakan rakyat Banten melawan Belanda tahun 1888,
sekalipun dia tidak secara langsung terlibat di dalamnya. Dia meninggalkan
Banten pada tanggal 13 Februari 1876 dan dia tinggal di Mekkah ketika perang
meletus. Sartono memberikan catatan yang menarik tentang pengaruh ajaran-ajaran
dan dakwahnya atas populasi massa. Dia menulis:
“Dalam pada itu, wejangan-wejangan, janji-janji,
dan ramalan-ramalan Haji Abdul Karim membuat rakyat bersemangat. Jelas bahwa
prediksi-prediksinya tentang ‘Hari Kiamat’, kedatangan Mahdi, dan Jihad,
memunculkan reaksi fermentasi keagamaan secara umum; semangat jihad digerakkan
dengan kesadaran yang hidup bahwa Negara mereka merupakan dar al-Islam, yang
saat itu dikuasai pemerintah asing, dan bahwa suatu hari ia harus ditaklukan
kembali. Tujuan pokok Kyai Agung adalah pendirian negara Islam”.(40)
Dengan memasuki tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, maka kesetiaan para santri kepada kyai, dan persaudaraan di
kalangan para santri menjadi kokoh. Selain itu, ilmu dan kesaktian para kyai
memperkuat karismanya di mata santri-santrinya.(41)
Satu hal yang mencolok adalah, bahwa para kyai
pada umumnya sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat, yang menganggap mereka
sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi. Mereka menerima
sumbangan-sumbangan, dan dengan mudah dapat mengerahkan penduduk desa.
Kesetiaan ini, yang dalam pandangan petani-petani muslim sudah sewajarnya
mereka berikan kepada pemimpin agama mereka, lebih diperkokoh lagi oleh
keanggotaan mereka dalam tarekat.
Dari keterangan di atas, terlihat begitu besar
pengaruh Syeikh Abdul Karim bagi masyarakat petani di Banten pada saat itu,
sehingga dengan seketika, tarekat mampu menggerakkan masa rakyat. Kondisi
seperti itu jelas dilatar belakangi oleh adanya ketidak puasaan rakyat dalam
berbagai aspek kehidupan di pedesaan. Pada saat seperti itu, mereka membutuhkan
seorang figur pemimpin, dengan harapan akan mampu mengembalikan keutuhan desa,
tanpa ada gangguan dan pungutan apa-pun yang sangat merugikan masyarakat
Banten.
Keterangan dan Sumber :
33. Halway Michrob dan Chudari, Catatan
Masa Lalu Banten, hlm. 54
34. Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888, hlm. 230-231
35. Dhofier, Tradisi
Pesantren, hlm. 90.
36. Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten 1888, hlm. 258.
37. Nina Lubis, Banten Dalam
Pergumulan Sejarah, hlm. 87.
38. Ibid. hlm. 280
39. Kartodirdjo, Catatan tentang
Mesianisme, (Yogyakarta: Penerbit Lukstrum II, 1980), hlm. 20.
40. Ibid, hlm. 55.
41. Van Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 65.
Sumber tulisan: http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/06/asal-usul-tarekat-qodiriyah-wa_30.html#ixzz2lva869LC
Sumber tulisan: http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/06/asal-usul-tarekat-qodiriyah-wa_30.html#ixzz2lva869LC
0 komentar:
Posting Komentar