Minggu, 01 Desember 2013

Tentang Manaqib

Manaqib dalam bahasa Arab artinya "jalan di atas gunung" atau "tanjakan"; "tingkatan" atau istilah sekarang "up-grading".
Adapun istilah Manaqib yaitu : Perkara yang sudah diketahui bahwa keluarnya perkara itu dari hal yang terpuji dan dari budi pekerti yang baik. Bisa juga disebut tanda keagungan.
Dalam manaqib ada tiga kandungan : 

1. Riwayat; 
2. Karamat; 
3. Wasiyat
Hukum membaca Manaqib adalah sunat, karena Manaqib bisa menjadikan kifarat dari dosa, seperti hadits yang disampaikan oleh Ahmad dan Tabrani yang bunyinya :
"Memperingati orang-orang sholeh akan memperoleh kifarat dosa dan pada peringatan tersebut akan turun rahmat dan memperoleh barokah"
Ahli Thoreqat Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah biasa menjalankan wiridan membaca Manaqib, utamanya mengharapkan barokah dan rahmat dari Allah, dengan ternaungi oleh karamat dari yang memiliki Manaqib itu.
Jalan lain mengharap barokah itu ada lagi, yaitu menurut Firman Allah

 وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ......
 "Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembali, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ". (Q. S. 31 Luqman ayat 15).
Kesimpulannya Orang beriman, di samping harus ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, juga harus mengikuti jalannya orang-orang yang sudah taqorrub kepada Allah, yaitu para Auliya Allah. Oleh karena itu jelas bahwa hukum membaca Manaqib itu "Sunat".

Yang memiliki Manaqib itu bukan hanya para Wali saja, akan tetapi para Sahabat Muhajirin dan Anshor juga memiliki Manaqib (Kitab Bukhori Juz 4). Dengan demikian jelas bahwa Manaqib itu ada dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Oleh karena itu, kepada orang yang mewiridkan membaca Manaqib jangan dibid'ahkan, karena semua itu hanya sebagai mengingat-ingat akhlaq para Sholihin dan Sodiqin, agar kita dapat mencontoh kepada mereka, karena mereka juga meniru akhlaq Nabi SAW.
Orang yang mengikuti kepada orang yang meniru kepada Nabi SAW adalah sama saja dengan orang yang meniru kepada Nabi SAW, karena menurut Qoidah ahli Munatiqoh : Annal mundarija fil mun dariji mundarijun tahta dzali kassae'i. Kesimpulannya : Seandainya kita meniru/mengikuti perjalanan Wali-wali Allah, itu sama dengan meniru kelakuan Rasulullah SAW, sebab kelakuan para Wali, tidak keluar dari dasar-dasar Al-Qur'an dan Sunnah, karena Allah tidak menjadikan seseorang jadi Wali melainkan karena mereka taqwa kepada Allah, sebagaimana Firman Allah:

 إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ....
"......Orang-orang yang berhak menguasainya, hanyalah orang-orang yang bertakwa ". 
(Q. S. AI-Anfal ayat 34). [1]

Dengan demikian, siapa saja yang cinta kepada para Wali, sama dengan cinta kepada Nabi SAW. Sebaliknya apabila ada yang membenci/tidak menyenangi kepada para Wali, itu sama saja dengan membenci/tidak menyenangi kepada Nabi SAW dan siapa saja yang membenci Nabi SAW sama dengan menantang perang kepada Allah.
Jadi untuk yang membenci/anti Manaqib para Wali, sama dengan menantang perang kepada Allah.
Di dalam manaqib itu mengandung hikmat dan karamat. Dalam hal ini banyak hal-hal yang tidak dimengerti oleh akal, tidak terjangkau oleh ilmu, malahan seolah-olah keluar dari syari'at.
Sabda Syekh Abdul Qoodir AI-Jaelani: "Apabila kamu sekalian mendengar bermacam-macam ucapan atau sebagian ucapan yang keluar dari para ahli Tasawuf dan para ahli Ma'rifat yang sempurna, yaitu dengan para Wali yang dhohimya seperti tidak mufakat dengan syari'at yang menunjukkan dari perkara yang menjadikan sesat, harus tawaquf. Apabila kamu sekalian bukan ahli ta'wil, memohonlah kepada Allah yang Maha Mulia agar supaya kamu diberi petunjuk kepada hal-hal yang kamu tidak mengetahui."

Sebenarnya, sebagian ucapan para Wali itu, disamarkan sehingga tidak dapat segera dapat difahami, akan tetapi sebenarnya secara hakikat mufakat dengan Al-Qur'an dan Hadits. Karena itu bagi yang orang yang selalu menyalahkan ucapan-ucapan para Wali, termasuk kepada sebagian orang-orang yang sakit bathinnya (hatinya).
Menurut Firman Allah dalam AI-Qur'an :
"Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya ".
Juga Firman Allah : 
وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
".....Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata :"Ini adalah dusta yang lama ". (Q.S. 46 AI-Ahqaf ayat 11) [2]
Begitulah orang-orang yang anti pada Manaqibnya para Wali, seperti ucapan kaum Quraisy yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW, demikian pula orang-orang yang anti terhadap Karamat para Wali.
Apabila ada orang yang berkata: "Masa iya ada Wali melebihi dari pada Nabi, seperti Syekh Abdul Qoodir ketika menghidupkan lagi orang yang sudah mati menyebut "Qum bi idzni", sedangkan Nabi Isya a.s. mengucapkan "Qum bi idznillah ".
Ucapan tersebut di atas tidak lain karena "tidak tahu", lalu mengejek, mencaci, padahal artinya karamat itu adalah perkara yang keluar dari adat kebiasaan. 
Ucapan Syekh Munawi : "Tidak akan ingkar pada karamat, melainkan orang yang tidak ingat kepada Allah. Sebenarnya segala apa kelakuan atau suatu kejadian itu adalah perkara yang keluarnya dan Wali Allah yang diridloi oleh Allah.
Lihat Hadits Qudsi : "Setiap abdi, sangat taqorrub kepada Allah dengan menjalankan sunah-sunah, oleh karena itu Allah meridloi kepada abdi tersebut.
Segala macam perkara yang khowariq, jangan dikejar untuk dimengerti oleh akal, cukup didasarkan kepada kekuasaan Allah, sebagaimana Firmar Allah dalam AI-Qur'an : menjadikan sekehendakNya, dan menghukum sekehendakNya. Jangan bertanya tantang segala yang diciptakan Allah.
Apabila ada yang anti pada karamat, sama saja dengan anti kepada Al-Qur'an karena dalam Al-Qur'an banyak ayat yang menunjukkan adanya karamat, seperti Asop bin Barkhoya panglimanya Nabi Sulaiman a.s. dapat memindahkan istana Ratu Bilqis dalam sekejap mata, atau Ashabul Kahfi berada di dalam gua selama 309 tahun, atau Siti Maryam kapan saja akan bersantap selalu datang hidangan secara ghaib. Semua itu Karamat, karena semuanya terjadi bukan dari Nabi.
Apabila saja ada yang tidak percaya pada karamat, sama saja dengan mendustakan pada Al-Qur'an. Sekali lagi dijelaskan bahwa membaca Manaqib itu adalah bukan "mengkultuskan" atau "mendewa-dewakan", akan tetapi sekedar mencontoh atau meniru Sholihin, agar supaya kita dapat meniru pada akhlaq mereka, yang sampai dapat gelar "Kekasih Allah ".

Sumber : Buku Bidayatussalikin (Belajar Ma'rifat Kepada Allah). H. Syihabuddin Suhrowardi. Ajengan Citungku Ciamis.  Terbitan PT.MUDAWWAMAH WARAHMAH Pondok Pesantren Suryalaya 


Keterangan:
[1] Keseluruhan dari Ayat suci Al-Qur'an tersebut adalah :
وَمَا لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ ۚ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q. S. 8 AI-Anfal ayat 34)

[2] Keseluruhan dari Ayat  suci Al-Qur'an tersebut selengkapnya adalah :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ ۚ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama" (Q.S. 46 AI-Ahqaf ayat 11)


Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com/2013/06/mengenai-manakib.html#ixzz2mEr0WmgI
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar:

Posting Komentar